Putus Sekolah Karena Kenyataan, Bukan Pilihan

Putus Sekolah

Di pedalaman Nusa Tenggara Timur, anak-anak berjalan kaki hingga 7 kilometer untuk sampai ke sekolah. Di musim hujan, jalanan menjadi lumpur dan sungai meluap, membuat mereka absen berhari-hari. Sementara itu di kota-kota besar, anak-anak dari keluarga marginal terpaksa bekerja sebagai pemulung atau penjual tisu agar bisa membantu ekonomi rumah tangga.

Menurut BPS, lebih dari 4 juta anak Indonesia usia sekolah tidak menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah. Banyak dari mereka bukan berhenti karena malas, tetapi karena faktor ekonomi dan akses. Beberapa harus menjaga adik di rumah karena orang tuanya bekerja. Yang lain tidak memiliki biaya untuk seragam, transportasi, atau iuran sekolah.

Di daerah-daerah terpencil seperti Mentawai atau Papua Pegunungan, masih ada sekolah dasar yang kekurangan guru. Satu guru bisa mengajar enam kelas sekaligus. Fasilitas pun sangat terbatas—bangku kayu reyot, buku yang sudah usang, dan tidak ada listrik untuk belajar di malam hari.

Ini bukan soal motivasi, melainkan realitas yang memaksa. Pendidikan bagi sebagian anak di Indonesia masih merupakan sebuah kemewahan, bukan hak yang dijamin. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan belum menjangkau semua anak secara merata, dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh semua pihak.

Pos Sebelumnya
Ketika Bencana Datang, Banyak yang Tidak Siap
Pos Berikutnya
Kesepian yang Tak Terlihat: Hidup Lansia di Tepi Masyarakat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.
You need to agree with the terms to proceed

Artikel Lain

Donasi